Daftar Blog Saya

Minggu, 20 Oktober 2013

Guillain-Barre syndrome (GBS) atau Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculopathy (AIDP)


Guillain-Barre syndrome (GBS) atau Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculopathy (AIDP)

BAB I
PENDAHULUAN
                                                                          
            Guillain-Barre syndrome (GBS) atau Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculopathy (AIDP) merupakan suatu kumpulan kondisi atau gejala berupa kelemahan yang simetris, asending, arefleksia, non-febris yang seringkali didahului oleh suatu infeksi. GBS merupakan penyebab paling banyak paralisis motorik akut pada anak-anak dibawah poliomielitis.
            Patogenesis GBS sendiri hingga saat ini masih belum jelas diketahui. Data-data sebelumnya menunjukkan bahwa GBS merupakan suatu penyakit yang didasari oleh suatu proses penyakit autoimun. Umumnya faktor pencetus yang paling banyak dihubungkan dengan GBS adalah infeksi Campylobacter jejuni, Cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, dan Mycoplasma.
            Diagnosis GBS biasanya ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang mendukung. Patogenesis GBS dijelaskan melalui beberapa studi pada pasien dan hewan percobaan yang menunjukkan bukti bahwa GBS disebabkan oleh infeksi yang memicu respon imun menyimpang yang merusak saraf perifer. Terdapat empat faktor penting yang mengendalikan pathogenesis GBS, yaitu antibodi antigangliosida, molecular mimicry dan reaksi silang, aktivasi komplemen.  Maka dari itu, konsep autoimun pada GBS menyebabkan munculnya imunoterapi yang bertujuan untuk mengurangi keparahan penyakit dan mempercepat pemulihan.
            Kurangnya pengetahuan pada manifestasi klinis GBS seringkali menyebabkan komplikasi yang berbahaya pada perjalanan penyakitnya. Sebanyak 5 % pasien GBS meninggal akibat komplikasi, seperti sepsis, emboli paru, cardiac arrest, gagal nafas ataupun disautonomia. Maka dari itu, manajemen dan penatalaksanaan harus meliputi pengkajian dini terhadap komplikasi yang mungkin terjadi



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1   Definisi
Gullain-Barre Syndrome (GBS) adalah suatu kumpulan gejala autoimun dengan karakteristik berupa adanya suatu proses degenerasi dan demielinisasi aksonal akut. Gejala umum pada semua tipe varian GBS adalah terjadinya suatu poliradikuloneuropati yang terjadi didahului oleh suatu pencetus, dalam hal ini paling banyak adalah infeksi1.

2.2   Epidemiologi
Angka kejadian GBS di seluruh dunia sangat bervariasi berkisar 1-3 kasus per 100.000 orang-tahun.1 Sedangkan, laporan angka insiden GBS di negara Barat dengan angka berkisar 0,89 – 1,89 per 100.000 orang-tahun. Perbandingan penderita antara laki-laki dan perempuan adalah 1,78 (1,36-2,33) : 1. Dua per tiga kasus GBS didahului dengan gejala infeksi saluran respirasi atas atau diare. Agen penyakit yang paling banyak diidentifikasi yang berhubungan dengan munculnya GBS adalah Campylobacter jejuni, dan Cytomegalovirus sekitar 10% kasus.2 Kejadian GBS dilaporkan terjadi pada semua umur, meskipun jarang terjadi pada bayi. Puncak angka kejadiannya terjadi secara bimodal yaitu pada remaja dan dewasa muda (15-30 tahun) dan usia tua (50-75 tahun).1

2.3   Etiologi
Semua varian GBS merupakan suatu kondisi autoimunitas yang terjadi karena respon imun kepada antigen asing (bakteri) menyerang jaringan saraf sendiri (molecular mimicry). Infeksi yang paling umum diketahui mendahului serangan GBS adalah infeksi Campylobacter jejuni. Pada beberapa kasus infeksi cytomegalovirus juga dihubungkan dengan kejadian GBS.3



2.4   Patofisiologi
Beberapa studi pada pasien dan hewan percobaan menunjukkan bukti bahwa GBS disebabkan oleh infeksi yang memicu respon imun menyimpang yang merusak saraf perifer. Terdapat faktor-faktor penting yang mengendalikan proses ini.4

1.        Antibodi antigangliosida
       Sekitar separuh dari keseluruhan pasien GBS, antibodi serum terhadap berbagai gangliosida telah ditemukan pada saraf perifer, termasuk LM1, GM1,GM1b, GM2,GD1a, GD2,GD3,GQ1b. Gangliosida ini memiliki distribusi spesifik pada saraf perifer dan berperan dalam mempertahankan struktur membran. Sebagian besar antibodi ini spesisik untuk subgrup GBS. Antibodi terhadap GM1,GM1b,GD1a dan Ga1Nac-GD1a berhubungan dengan varian aksonal atau motorik murni, sedangkan antibodi terhadap GD3, GT1a dan GQ1b berkaitan dengan ophtalmoplegia dan MFS.

2.        Molecular mimicry dan reaksi silang
     Autoantibodi disebutkan menjadi komponen patogenik yang memicu GBS karena plasma exchange telah terbukti sebagai terapi yang efektif pada GBS. Bakteri gram negatif C. jejuni, penyebab utama gastroenteritis akut, adalah mikroorganisme memiliki epitop pada permukaannya yang menyerupai epitop pada permukaan saraf perifer (yaitu gangliosida, glikolipid) menyebabkan saraf perifer menjadi ‘molecular mimic’ dari agen infeksius.  C. jejuni yang diisolasi dari pasien mengekspresikan lipooligosakarida (LOS) yang menyerupai karbohidrat dari gangliosida. Tipe dari mimikri gangliosida pada C. Jejuni menunjukkan spesifisitas dari antibodi antigangliosida dan varian dari GBS. Antibodi pada pasien ini biasanya mengadakan reaksi silang dan mengenali LOS dan gangliosida atau kompleks gangliosida.

3.        Aktivasi komplemen
       Pada studi post-mortem ditemukan bahwa aktivasi komplemen lokal terjadi pada lokasi kerusakan saraf, seperti aksolemma pada pasien dengan AMAN dan membran sel Schwann pada AIDP. Studi GBS pada mencit menemukanbahwa beberapa antibodi antigangliosida bersifat toksik terhadap saraf tepi dan dapat menyebabkan blokade dari transmisi saraf dan paralisis otot. Selain itu, saraf terminal dan sel Schwann perisinaptik juga hancur. Antibodi terhadap GM1 mempengaruhi kanal natrium pada nodus ranvier saraf tepi. Seluruh efek ini bergantung pada aktivasi komplemen dan pembentukan membrane attack complex.
Kelainan patologis GBS teridentifikasi berupa area inflamasi multifokal dan demielinisasi dengan infiltrasi seluler berupa makrofag dan limfosit (Gambar 2). Pada daerah demielinisasi, penetrasi makrofag hingga ke basal membran Sel Schwann sehingga selubung mielin menjadi rusak dan meninggalkan akson terpapar tanpa selubung mielin. Demielinisasi fokal menyebabkan konduksi saraf menjadi terhambat.5
            Inflamasi yang lebih parah terjadi pada daerah perbatasan tempat masuknya akar dorsal dan ventral dengan duramater. Sehingga sawar darah otak menjadi longgar dan terjadi transudasi protein plasma ke dalam CSF. Hasil dari proses ini ditunjukkan dengan karakteristik GBS yaitu disosiasi sitoalbumin.5

2.5   Subtipe GBS
1.   Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)
Merupakan suatu kelaianan autoimun yang dimediasi oleh antibodi terhadap sel Schwann. AIDP biasanya dicetuskan karena adanya infeksi oleh virus atau bakteri sebelumnya. Pemeriksaan Elektrofisiologis menunjukkan adanya tanda-tanda demieliniasi. Proses penyembuhan (remielinisasi) terjadi setelah reaksi inflamasi berhenti. AIDP merupakan bentuk GBS yang paling banyak dijumpai.
2.   Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)
Merupakan subtipe GBS dengan karakteristik neuropati aksonal motor murni. Pemeriksaan Elektrofisiologis menunjukkan tidak ada kelainan pada saraf sensoris dengan penurunan / kehilangan fungsi saraf motorik. Penyembuhan biasanya terjadi lebih cepat.
3.   Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Subtipe GBS dengan karakteristik yang mirip dengan AMAN dengan tambahan berupa gangguan pada saraf sensoris. Proses pada AMSAN adalah degenerasi Wallerian pada saraf motorik dan sensoris. Penyembuhan sering tidak sempurna.
4.   Miller-Fish Syndrome
Subtipe yang jarang ditemui. Karakteristik MFS adalah descending paralysis dimana menyerang otot mata terlebih dahulu (trias oftalmoplegia, ataksia, arefleksia). MFS terjadi karena proses demielinisasi dan inflamasi pada saraf kranial III dan IV, ganglia spinal dan saraf periferal. Resolusi terjadi dalam waktu 1-3 bulan.
5.   Acute Panuatonomic Neuropathy
Merupakan varian yang paling jarang dijumpai. Ditandai dengan adanya kerusakan pada sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Manifestasi Sistem kardiovaskuler (hipotensi psotural, takikardia, hipertensi, disritmia) sering ditemui dengan manifestasi lain berupa penglihatan kabur, mata kering dan anhidrosis.1

2.6   Manifestasi Klinis
            Diagnosis GBS berdasarkan manifestasi klinis yang tipikal terjadi. Pemeriksaan elektrofisiologis dan cairan serebrospinal dapat membantu menegakkan diagnosis pasti GBS.1
            Manifestasi utama GBS adalah kelemahan motorik yang bervariasi, dimulai dari ataksia, arefleksia hingga total paralisis motorik. Awalnya pasien biasanya menyadari adanya kelemahan pada kedua tungkainya yaitu adanya kaki karet yakni kaki cenderung tertekuk (Buckle) dengan atau tanpa disestesia. Umumnya keterlibatan otot lebih distal terlebih dahulu dan lama-kelamaan semakin menaik seiring perjalanan penyakit (ascending paralysis). Gejala tersebut umumnya terjadi secara simteris kiri dan kanan. Saat onset kelemahan terjadi tidak dijumpai adanya demam.1 Kelemahan maksimal tercapai dalam 4 minggu, namun sebagian besar pasien telah mencapai kelemahan maksimum dalam 2 hingga 3 minggu. Pasien kemudian mengalami fase plateau yang bervariasi dengan rentang beberapa minggu hingga bulan. Fase ini kemudian diikuti dengan fase pemulihan dengan durasi yang bervariasi namun cenderung lambat.4
            Gangguan sensorik merupakan gejala yang cukup penting dan bervariasi pada GBS. Hilangnya sensibilitas dalam atau proprioseptif (raba-tekan-getar) lebih berat daripada sensibilitas superfisial (raba nyeri dan suhu). Sensasi nyeri merupakan gejala yang sering muncul pada GBS, yakni rasa nyeri tusuk dalam (deep aching pain) pada otot-otot yang lemah, namun nyeri ini terbatas dan harus segera diatasi dengan analgesik standar. Hilangnya sensasi nyeri dan suhu umumnya ringan. Pada kasus berat, didapati hilangnya fungsi otonom, dengan manifestasi fluktuasi tekanan darah, hipotensi ortostatik, dan aritmia jantung.6

 Untuk diagnosis GBS dipergunakan kriteria Asbury (1981) yaitu:5
·         Adanya suatu kelumpuhan (paralisis) yang progresif, simetris dan asenden
·         Arefleksi dan gangguan sensoris yang ringan tanpa adanya gangguan otot sfingter
·         Penyakit tidak melebihi 4 minggu atau dalam 2-4 minggu mulai terjadi proses pemulihan
·         Kelainan cairan serebrospinal : protein meningkat dengan jumlah sel yang normal (Disosiasi sitoalbumin)
Aktivasi komplemen Pada studi post-mortem ditemukan bahwa aktivasi komplemen lokal terjadi pada lokasi kerusakan saraf, seperti aksolemma pada pasien dengan AMAN dan membran sel Schwann pada AIDP. Studi GBS pada mencit menemukanbahwa beberapa antibodi antigangliosida bersifat toksik terhadap saraf tepi dan dapat menyebabkan blokade dari transmisi saraf dan paralisis otot. Selain itu, saraf terminal dan sel Schwann perisinaptik juga hancur. Antibodi terhadap GM1 mempengaruhi kanal natrium pada nodus ranvier saraf tepi. Seluruh efek ini bergantung pada aktivasi komplemen dan pembentukan membrane attack complex.
Gambaran klinis yang perlu diragukan untuk mendiagnosis sebagai GBS antara lain :5
1.      Kelemahan asimetris yang nyata dan persisten
2.      Disfungsi kandung kencing persisten
3.      Disfungsi kandung kencing saat onset terjadi
4.      Adanya mononuklear pada CSF ( > 50/ยตL)
5.      Hanya terdapat gejala sensoris
6.      Adanya riwayat difteria, intoksikasi logam berat
7.      Bukti penyakit lain seperti: poliomielitis, botulisme, dan neuropati toksik
 2.7   Diagnosis Banding
·         Acute Anterior Poliomyelitis
·         Periodic Paralysis
·         Botulisme
·         Infective Polyneuropathy
·         Hypokalemia
·         Acute Myelopathy




2.8   Pemeriksaan Penunjang
Cairan Serebrospinal
            Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSF normal, setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSF tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSF. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuklear/mm.1,8

Pemeriksaan Elektrofisiologis
            Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya Kecepatan Hantaran Saraf (KHS). Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal.1

Pemeriksaan Lain
            Kultur feses dan serologis terhadap Campylopbacter jejuni, Antibodi anti-ganglionsida, antibodi antinuclear, LED, CRP, kadar urea dan kreatinin, dan kadar gula darah.7

2.9   Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Awal
            Pada kasus berat, sangat dibutuhkan alat bantu pernafasan serta perawatan khusus. Sekitar 30% penderita membutuhkan bantuan ventilasi mekanik, selain itu kondisi pasien yang cepat memburuk tanpa dapat diprediksikan membuat penderita GBS membutuhkan perawatan inap untuk observasi fungsi respirasi.
            Perhatian khusus terutama ditujukan pada perawatan suportif dan pencegahan komplikasi, antara lain kegagalan nafas dan disfungsi otonomik. Pengukuran maksimal Forced Vital Capacity (FVC), gas darah arterial, tekanan darah, dan fungsi otot bulbar harus selalu dimonitor selama fase progresif. Tanda gagal nafas antara lain perburukan FVC, tekanan maksimal respirasi, dan hipoksemia akibat atelektasis. Kelemahan otot respirasi ditandai dengan keringat dingin, takikardia, dan nafas cepat diantara percakapan pendek. Monitoring FVC dilakukan setiap jam, jika FVC kurang dari 18 ml/kg atau terjadi disotonomia kardiovaskuler, penderita harus dirawat di unit perawatan intensif (ICU). Intubasi dilakukan bila FVC kurang dari 12-15 ml/kg, tekanan O2 arteri dibawah 70 mmHg serta tanda kelemahan respirasi yang berat. Trakeostomi dilakukan bila diperkirakan bantuan nafas lebih dari 10 hari. Keputusan untuk menghentikan alat bantu nafas dan melepaskan selang endotrakeal atau trakeostomi didasarkan pada derajat penyembuhan fungsi respirasi. Proses penyapihan umumnya dimulai saat kapasitas vital mencapai kurang lebih 10 ml/kg dan dapat dipertahankan selama beberapa jam.
            Terapi fisik dada dan spirometri insentif membantu mencegah atelektasis pada pasien dengan gangguan batuk dan nafas. Aritmia jantung dan fluktuasi tekanan darah membutuhkan monitoring EKG dan tekanan darah, sehingga deteksi keadaan yang mengancam jiwa dapat tercapai. Injeksi heparin subkutan 5000 unit, 2 kali sehari diindikasikan untuk mengurangi resiko trombosis vena dan emboli paru.2
            Di ICU, diperkirakan satu dari empat pasien GBS menderita infeksi paru-paru dan saluran kemih, sehingga dibutuhkan terapi antibiotika yang sesuai. Antibiotika profilaksis tidak dianjurkan pada penderita ini. Perawatan jalan nafas, sistem drainase urin tertutup, dan pencucian tangan secara rutin oleh pekerja medis untuk mencegah infeksi nosokomial. Dilakukan perawatan harian rutin dengan mobilisasi miring kanan/kiri, memposisikan anggota gerak dalam posisi anti dekubitus; serta perhatian lebih, terutama untuk kulit, mata, mulut, usus besar dan kandung kemih, serta nutrisi.
            Pada kasus kelumpuhan bifasial, diberikan air mata buatan dan taping kelopak mata untuk mencegah iritasi kornea. Pada fase paralitik, dilakukan latihan lingkup gerak sendi secara pasif dua kali sehari untuk meningkatkan fleksibilitas anggota gerak. Penggunaan padded splint ditujukan sebagai pencegahan kontraktur dorsifleksi pergelangan kaki. Dukungan psikologis dan jaminan adanya potensi kesembuhan sangatlah dibutuhkan. Pada fase penyembuhan, terapi fisik akan mempercepat penyembuhan,  antara lain berupa latihan lingkup gerak sendi serta latihan dengan tahanan ringan. 

Terapi Spesifik
            Terapi akut ditujukan terutama untuk melawan proses imunopatogenesis, antara lain terapi pertukaran plasma (plasmapheresis) dan injeksi immunoglobulin dosis tinggi intravena (IVIG). Plasmapheresis dianjurkan untuk pasien dengan kelemahan sedang hingga berat (didefinisikan sebagai kemampuan berjalan dengan bantuan atau tidak mampu berjalan sama sekali).9
            Jadwal plasmapheresis berkisar antara 4 hingga 6 kali (40-50 ml/kg) dengan mesin kontinu selang sehari. Digunakan larutan saline dan albumin sebagai cairan pengganti plasma. Manfaat terapi paling jelas apabila terapi dimulai 2 minggu setelah onset. Relaps terjadi pada 10% pasien dalam kurun waktu 3 minggu pasca-terapi.9
            Perbandingan manfaat terapi IVIG  sebanyak 0,4 g/kg sebanyak 5 kali per hari pada 2 minggu pertama onset dengan terapi plasmapheresis, namun hasilnya belum tervalidasi dengan jelas. IVIG mungkin dipertimbangkan pada pasien dengan masalah akses vena, sepsis, instabilitas kardiovaskuler, ataupun penderita yang gagal setelah diterapi dengan plasmapheresis. Pada suatu studi dari Belanda, terapi IVIg dan PE diberikan pada pasien GBS dalam 2 minggu onset dan terlihat bahwa pasien yang mendapat IVIg menunjukkan hasil yang lebih baik hampir pada seluruh aspek yang dinilai. Waktu untuk pulih dan berjalan adalah kurang dari 14 hari pada pasien yang diterapi dengan IVIg, dan waktu penggunaan ventilator pada pasien dengan gagal nafas adalah kurang dari 7 hari. IVIg juga terlihat mengurangi keparahan penyakit. Hal ini mungkin dikarenakan terapi yang telah dimulai sejak awal (lebih kurang 6 hari setelah onset gejala). IVIg juga ditoleransi lebih baik dibanding PE.Komplikasi pada PE dijumpai dua kali lebih sering dibanding IVIg dan cenderung lebih serius. Keuntungan IVIg lainnya adalah bahwa IVIg lebih mudah diberikan, tidak memerlukan peralatan khusus, dan membutuhkan periode terapi yang lebih singkat. IVIg tidak sepenuhnya bebas risiko dan tetap harus digunakan dengan hati-hati.9
            Penggunaan kortikosteroid telah disarankan untuk terapi GBS, namun setelah dilakukan dua uji klinis acak terkontrol yakni menggunakan dosis konvensional prednisolon dan dosis tinggi metilprednisolon intravena, terbukti bahwa penggunaan kortikosteroid ternyata tidak bermanfaat. Rekomendasi terapi berdasarkan studi acak terkontrol; dimana diberikan terapi plasmapheresis dan IVIG, namun tidak dengan kortikosteroid ataupun kombinasinya.7

2.10 Prognosis
            Prognosis GBS ditentukan oleh beberapa faktor. Secara umum dua per tiga penderita GBS akan pulih komplit kembali dalam waktu satu tahun. Bantuan ventilator diperlukan oleh seperempat penderita. Dalam suatu studi perspektif, 36% penderita akan mulai pulih dalam waktu satu minggu, dan 85% akan menunjukkan kemajuan dalam waktu empat minggu. Angka mortalitas akibat GBS bervariasi berkisar 8-13% dengan frekuensi lebih tinggi pada usia yang lebih tua. Sekitar 25% kematian terjadi pada minggu pertama, dan 50% kematian terjadi pada satu bulan. Penyebab utama kematian pada penderita GBS adalah gagal jantung, diikuti oleh infeksi toraks, emboli paru dan gagal nafas. Semakin cepat penanganan terhadap GBS, maka semakin baik pula prognosisnya.8
Perjalanan penyakit GBS bisa dibagi menjadi tiga fase:7
·         Fase Awal       : dimulai sejak gejala definitif GBS mulai muncul, kelumpuhan semakin meningkat seiring berjalan waktu. Fase awal terjadi sekitar 1-3 minggu ketika tidak ada perburukan gejala lagi
·         Fase Plateau    : gejala kelumpuhan menetap yang terjadi beberapa hari hingga beberapa minggu
·         Fase Pemulihan : Kelumpuhan berangsur-angsur pulih. Fase pemulihan diikuti dengan proses remielinisasi dan pertumbuhan axon kembali. Fase ini dapat berlangsung beberap minggu hingga enam bulan. Dalam kasus berat, fase pemulihan dapat terjadi sekitar dua tahun.
? = N : < font-size:12.0pt;line-height:150%;font-family:"Times New Roman","serif"; mso-ansi-language:IN'>            Diagnosis GBS berdasarkan manifestasi klinis yang tipikal terjadi. Pemeriksaan elektrofisiologis dan cairan serebrospinal dapat membantu menegakkan diagnosis pasti GBS.1
            Manifestasi utama GBS adalah kelemahan motorik yang bervariasi, dimulai dari ataksia, arefleksia hingga total paralisis motorik. Awalnya pasien biasanya menyadari adanya kelemahan pada kedua tungkainya yaitu adanya kaki karet yakni kaki cenderung tertekuk (Buckle) dengan atau tanpa disestesia. Umumnya keterlibatan otot lebih distal terlebih dahulu dan lama-kelamaan semakin menaik seiring perjalanan penyakit (ascending paralysis). Gejala tersebut umumnya terjadi secara simteris kiri dan kanan. Saat onset kelemahan terjadi tidak dijumpai adanya demam.1 Kelemahan maksimal tercapai dalam 4 minggu, namun sebagian besar pasien telah mencapai kelemahan maksimum dalam 2 hingga 3 minggu. Pasien kemudian mengalami fase plateau yang bervariasi dengan rentang beberapa minggu hingga bulan. Fase ini kemudian diikuti dengan fase pemulihan dengan durasi yang bervariasi namun cenderung lambat.4
            Gangguan sensorik merupakan gejala yang cukup penting dan bervariasi pada GBS. Hilangnya sensibilitas dalam atau proprioseptif (raba-tekan-getar) lebih berat daripada sensibilitas superfisial (raba nyeri dan suhu). Sensasi nyeri merupakan gejala yang sering muncul pada GBS, yakni rasa nyeri tusuk dalam (deep aching pain) pada otot-otot yang lemah, namun nyeri ini terbatas dan harus segera diatasi dengan analgesik standar. Hilangnya sensasi nyeri dan suhu umumnya ringan. Pada kasus berat, didapati hilangnya fungsi otonom, dengan manifestasi fluktuasi tekanan darah, hipotensi ortostatik, dan aritmia jantung.6

 Untuk diagnosis GBS dipergunakan kriteria Asbury (1981) yaitu:5
·         Adanya suatu kelumpuhan (paralisis) yang progresif, simetris dan asenden
·         Arefleksi dan gangguan sensoris yang ringan tanpa adanya gangguan otot sfingter
·         Penyakit tidak melebihi 4 minggu atau dalam 2-4 minggu mulai terjadi proses pemulihan
·         Kelainan cairan serebrospinal : protein meningkat dengan jumlah sel yang normal (Disosiasi sitoalbumin)
re'> C p n 0? ont:7.0pt "Times New Roman"'>        Aktivasi komplemen
       Pada studi post-mortem ditemukan bahwa aktivasi komplemen lokal terjadi pada lokasi kerusakan saraf, seperti aksolemma pada pasien dengan AMAN dan membran sel Schwann pada AIDP. Studi GBS pada mencit menemukanbahwa beberapa antibodi antigangliosida bersifat toksik terhadap saraf tepi dan dapat menyebabkan blokade dari transmisi saraf dan paralisis otot. Selain itu, saraf terminal dan sel Schwann perisinaptik juga hancur. Antibodi terhadap GM1 mempengaruhi kanal natrium pada nodus ranvier saraf tepi. Seluruh efek ini bergantung pada aktivasi komplemen dan pembentukan membrane attack complex.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar