Guillain-Barre syndrome (GBS) atau Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculopathy (AIDP)
BAB I
PENDAHULUAN
Guillain-Barre syndrome (GBS) atau
Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculopathy (AIDP) merupakan suatu
kumpulan kondisi atau gejala berupa kelemahan yang simetris, asending,
arefleksia, non-febris yang seringkali didahului oleh suatu infeksi. GBS merupakan
penyebab paling banyak paralisis motorik akut pada anak-anak dibawah
poliomielitis.
Patogenesis GBS sendiri hingga saat
ini masih belum jelas diketahui. Data-data sebelumnya menunjukkan bahwa GBS
merupakan suatu penyakit yang didasari oleh suatu proses penyakit autoimun.
Umumnya faktor pencetus yang paling banyak dihubungkan dengan GBS adalah
infeksi Campylobacter jejuni, Cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, dan
Mycoplasma.
Diagnosis GBS biasanya ditegakkan
berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang mendukung. Patogenesis
GBS dijelaskan melalui beberapa studi pada pasien dan hewan percobaan yang
menunjukkan bukti bahwa GBS disebabkan oleh infeksi yang memicu respon imun
menyimpang yang merusak saraf perifer. Terdapat empat faktor penting yang
mengendalikan pathogenesis GBS, yaitu antibodi antigangliosida, molecular mimicry dan reaksi silang,
aktivasi komplemen. Maka dari
itu, konsep autoimun pada GBS menyebabkan munculnya imunoterapi yang bertujuan
untuk mengurangi keparahan penyakit dan mempercepat pemulihan.
Kurangnya pengetahuan pada
manifestasi klinis GBS seringkali menyebabkan komplikasi yang berbahaya pada
perjalanan penyakitnya. Sebanyak 5 % pasien GBS meninggal akibat komplikasi,
seperti sepsis, emboli paru, cardiac
arrest, gagal nafas ataupun
disautonomia. Maka dari itu, manajemen dan penatalaksanaan harus meliputi
pengkajian dini terhadap komplikasi yang mungkin terjadi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gullain-Barre
Syndrome (GBS) adalah suatu kumpulan gejala autoimun dengan karakteristik
berupa adanya suatu proses degenerasi dan demielinisasi aksonal akut. Gejala
umum pada semua tipe varian GBS adalah terjadinya suatu poliradikuloneuropati
yang terjadi didahului oleh suatu pencetus, dalam hal ini paling banyak adalah
infeksi1.
2.2 Epidemiologi
Angka kejadian
GBS di seluruh dunia sangat bervariasi berkisar 1-3 kasus per 100.000
orang-tahun.1 Sedangkan, laporan angka insiden GBS di negara Barat
dengan angka berkisar 0,89 – 1,89 per 100.000 orang-tahun. Perbandingan
penderita antara laki-laki dan perempuan adalah 1,78 (1,36-2,33) : 1. Dua per
tiga kasus GBS didahului dengan gejala infeksi saluran respirasi atas atau
diare. Agen penyakit yang paling banyak diidentifikasi yang berhubungan dengan
munculnya GBS adalah Campylobacter jejuni,
dan Cytomegalovirus sekitar 10% kasus.2 Kejadian GBS dilaporkan
terjadi pada semua umur, meskipun jarang terjadi pada bayi. Puncak angka
kejadiannya terjadi secara bimodal yaitu pada remaja dan dewasa muda (15-30 tahun)
dan usia tua (50-75 tahun).1
2.3 Etiologi
Semua varian
GBS merupakan suatu kondisi autoimunitas yang terjadi karena respon imun kepada
antigen asing (bakteri) menyerang jaringan saraf sendiri (molecular mimicry). Infeksi yang paling umum diketahui mendahului
serangan GBS adalah infeksi Campylobacter
jejuni. Pada beberapa kasus infeksi cytomegalovirus juga dihubungkan dengan
kejadian GBS.3
2.4 Patofisiologi
Beberapa
studi pada pasien dan hewan percobaan menunjukkan bukti bahwa GBS disebabkan
oleh infeksi yang memicu respon imun menyimpang yang merusak saraf perifer.
Terdapat faktor-faktor penting yang mengendalikan proses ini.4
1.
Antibodi
antigangliosida
Sekitar
separuh dari keseluruhan pasien GBS, antibodi serum terhadap berbagai
gangliosida telah ditemukan pada saraf perifer, termasuk LM1, GM1,GM1b,
GM2,GD1a, GD2,GD3,GQ1b. Gangliosida ini memiliki distribusi spesifik pada saraf
perifer dan berperan dalam mempertahankan struktur membran. Sebagian besar
antibodi ini spesisik untuk subgrup GBS. Antibodi terhadap GM1,GM1b,GD1a dan
Ga1Nac-GD1a berhubungan dengan varian aksonal atau motorik murni, sedangkan
antibodi terhadap GD3, GT1a dan GQ1b berkaitan dengan ophtalmoplegia dan MFS.
2.
Molecular mimicry dan reaksi silang
Autoantibodi
disebutkan menjadi komponen patogenik yang memicu GBS karena plasma exchange telah terbukti sebagai
terapi yang efektif pada GBS. Bakteri gram negatif C. jejuni, penyebab utama
gastroenteritis akut, adalah mikroorganisme memiliki epitop pada permukaannya
yang menyerupai epitop pada permukaan saraf perifer (yaitu gangliosida,
glikolipid) menyebabkan saraf perifer menjadi ‘molecular mimic’ dari agen infeksius. C.
jejuni yang diisolasi dari pasien mengekspresikan lipooligosakarida (LOS)
yang menyerupai karbohidrat dari gangliosida. Tipe dari mimikri gangliosida
pada C. Jejuni menunjukkan spesifisitas dari antibodi antigangliosida dan
varian dari GBS. Antibodi pada pasien ini biasanya mengadakan reaksi silang dan
mengenali LOS dan gangliosida atau kompleks gangliosida.
3.
Aktivasi
komplemen
Pada studi
post-mortem ditemukan bahwa aktivasi komplemen lokal terjadi pada lokasi
kerusakan saraf, seperti aksolemma pada pasien dengan AMAN dan membran sel
Schwann pada AIDP. Studi GBS pada mencit menemukanbahwa beberapa antibodi
antigangliosida bersifat toksik terhadap saraf tepi dan dapat menyebabkan
blokade dari transmisi saraf dan paralisis otot. Selain itu, saraf terminal dan
sel Schwann perisinaptik juga hancur. Antibodi terhadap GM1 mempengaruhi kanal
natrium pada nodus ranvier saraf tepi. Seluruh efek ini bergantung pada
aktivasi komplemen dan pembentukan membrane
attack complex.
Kelainan patologis GBS teridentifikasi berupa area
inflamasi multifokal dan demielinisasi dengan infiltrasi seluler berupa
makrofag dan limfosit (Gambar 2). Pada daerah demielinisasi, penetrasi makrofag
hingga ke basal membran Sel Schwann sehingga selubung mielin menjadi rusak dan
meninggalkan akson terpapar tanpa selubung mielin. Demielinisasi fokal
menyebabkan konduksi saraf menjadi terhambat.5
Inflamasi
yang lebih parah terjadi pada daerah perbatasan tempat masuknya akar dorsal dan
ventral dengan duramater. Sehingga sawar darah otak menjadi longgar dan terjadi
transudasi protein plasma ke dalam CSF. Hasil dari proses ini ditunjukkan
dengan karakteristik GBS yaitu disosiasi sitoalbumin.5
2.5 Subtipe GBS
1.
Acute
Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)
Merupakan
suatu kelaianan autoimun yang dimediasi oleh antibodi terhadap sel Schwann.
AIDP biasanya dicetuskan karena adanya infeksi oleh virus atau bakteri
sebelumnya. Pemeriksaan Elektrofisiologis menunjukkan adanya tanda-tanda
demieliniasi. Proses penyembuhan (remielinisasi) terjadi setelah reaksi
inflamasi berhenti. AIDP merupakan bentuk GBS yang paling banyak dijumpai.
2.
Acute
Motor Axonal Neuropathy (AMAN)
Merupakan
subtipe GBS dengan karakteristik neuropati aksonal motor murni. Pemeriksaan
Elektrofisiologis menunjukkan tidak ada kelainan pada saraf sensoris dengan
penurunan / kehilangan fungsi saraf motorik. Penyembuhan biasanya terjadi lebih
cepat.
3.
Acute
Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Subtipe
GBS dengan karakteristik yang mirip dengan AMAN dengan tambahan berupa gangguan
pada saraf sensoris. Proses pada AMSAN adalah degenerasi Wallerian pada saraf
motorik dan sensoris. Penyembuhan sering tidak sempurna.
4.
Miller-Fish
Syndrome
Subtipe
yang jarang ditemui. Karakteristik MFS adalah descending paralysis dimana menyerang otot mata terlebih dahulu
(trias oftalmoplegia, ataksia, arefleksia). MFS terjadi karena proses
demielinisasi dan inflamasi pada saraf kranial III dan IV, ganglia spinal dan
saraf periferal. Resolusi terjadi dalam waktu 1-3 bulan.
5.
Acute
Panuatonomic Neuropathy
Merupakan
varian yang paling jarang dijumpai. Ditandai dengan adanya kerusakan pada
sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Manifestasi Sistem kardiovaskuler
(hipotensi psotural, takikardia, hipertensi, disritmia) sering ditemui dengan
manifestasi lain berupa penglihatan kabur, mata kering dan anhidrosis.1
2.6 Manifestasi Klinis
Diagnosis
GBS berdasarkan manifestasi klinis yang tipikal terjadi. Pemeriksaan
elektrofisiologis dan cairan serebrospinal dapat membantu menegakkan diagnosis
pasti GBS.1
Manifestasi
utama GBS adalah kelemahan motorik yang bervariasi, dimulai dari ataksia,
arefleksia hingga total paralisis motorik. Awalnya pasien biasanya menyadari
adanya kelemahan pada kedua tungkainya yaitu adanya kaki karet yakni kaki
cenderung tertekuk (Buckle) dengan
atau tanpa disestesia. Umumnya keterlibatan otot lebih distal terlebih dahulu
dan lama-kelamaan semakin menaik seiring perjalanan penyakit (ascending paralysis). Gejala tersebut
umumnya terjadi secara simteris kiri dan kanan. Saat onset kelemahan terjadi
tidak dijumpai adanya demam.1 Kelemahan maksimal tercapai dalam 4
minggu, namun sebagian besar pasien telah mencapai kelemahan maksimum dalam 2
hingga 3 minggu. Pasien kemudian mengalami fase plateau yang bervariasi dengan rentang beberapa minggu hingga
bulan. Fase ini kemudian diikuti dengan fase pemulihan dengan durasi yang
bervariasi namun cenderung lambat.4
Gangguan
sensorik merupakan gejala yang cukup penting dan bervariasi pada GBS. Hilangnya
sensibilitas dalam atau proprioseptif (raba-tekan-getar) lebih berat daripada
sensibilitas superfisial (raba nyeri dan suhu). Sensasi nyeri merupakan
gejala yang sering muncul pada GBS, yakni rasa nyeri tusuk dalam (deep
aching pain) pada otot-otot yang lemah, namun nyeri ini terbatas dan harus
segera diatasi dengan analgesik standar. Hilangnya sensasi nyeri dan suhu
umumnya ringan. Pada kasus berat, didapati hilangnya fungsi otonom, dengan
manifestasi fluktuasi tekanan darah, hipotensi ortostatik, dan aritmia jantung.6
Untuk diagnosis
GBS dipergunakan kriteria Asbury (1981) yaitu:5
·
Adanya
suatu kelumpuhan (paralisis) yang progresif, simetris dan asenden
·
Arefleksi
dan gangguan sensoris yang ringan tanpa adanya gangguan otot sfingter
·
Penyakit
tidak melebihi 4 minggu atau dalam 2-4 minggu mulai terjadi proses pemulihan
·
Kelainan
cairan serebrospinal : protein meningkat dengan jumlah sel yang normal
(Disosiasi sitoalbumin)
Aktivasi
komplemen Pada studi
post-mortem ditemukan bahwa aktivasi komplemen lokal terjadi pada lokasi
kerusakan saraf, seperti aksolemma pada pasien dengan AMAN dan membran sel
Schwann pada AIDP. Studi GBS pada mencit menemukanbahwa beberapa antibodi
antigangliosida bersifat toksik terhadap saraf tepi dan dapat menyebabkan
blokade dari transmisi saraf dan paralisis otot. Selain itu, saraf terminal dan
sel Schwann perisinaptik juga hancur. Antibodi terhadap GM1 mempengaruhi kanal
natrium pada nodus ranvier saraf tepi. Seluruh efek ini bergantung pada
aktivasi komplemen dan pembentukan membrane
attack complex.
Gambaran klinis yang perlu diragukan untuk mendiagnosis
sebagai GBS antara lain :5
1.
Kelemahan
asimetris yang nyata dan persisten
2.
Disfungsi
kandung kencing persisten
3.
Disfungsi
kandung kencing saat onset terjadi
4.
Adanya
mononuklear pada CSF ( > 50/ยตL)
5.
Hanya
terdapat gejala sensoris
6.
Adanya
riwayat difteria, intoksikasi logam berat
7.
Bukti
penyakit lain seperti: poliomielitis, botulisme, dan neuropati toksik
·
Acute
Anterior Poliomyelitis
·
Periodic
Paralysis
·
Botulisme
·
Infective
Polyneuropathy
·
Hypokalemia
·
Acute
Myelopathy
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Cairan Serebrospinal
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik,
yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya
pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama
jumlah total protein CSF normal, setelah beberapa hari, jumlah protein mulai
naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein
CSF tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah
onset. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya
protein dalam CSF. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuklear/mm.1,8
Pemeriksaan Elektrofisiologis
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi
akibat demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal
(menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F
(tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf
motorik, serta berkurangnya Kecepatan Hantaran Saraf (KHS). Pada
90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal.1
Pemeriksaan Lain
Kultur feses dan serologis terhadap Campylopbacter jejuni, Antibodi anti-ganglionsida, antibodi
antinuclear, LED, CRP, kadar urea dan kreatinin, dan kadar gula darah.7
2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Awal
Pada kasus berat, sangat dibutuhkan alat bantu pernafasan
serta perawatan khusus. Sekitar 30% penderita membutuhkan bantuan ventilasi
mekanik, selain itu kondisi pasien yang cepat memburuk tanpa dapat
diprediksikan membuat penderita GBS membutuhkan perawatan inap untuk observasi
fungsi respirasi.
Perhatian khusus terutama ditujukan pada perawatan
suportif dan pencegahan komplikasi, antara lain kegagalan nafas dan disfungsi
otonomik. Pengukuran maksimal Forced
Vital Capacity (FVC), gas darah arterial, tekanan darah, dan fungsi otot
bulbar harus selalu dimonitor selama fase progresif. Tanda gagal nafas antara
lain perburukan FVC, tekanan maksimal respirasi, dan hipoksemia akibat
atelektasis. Kelemahan otot respirasi ditandai dengan keringat dingin,
takikardia, dan nafas cepat diantara percakapan pendek. Monitoring FVC
dilakukan setiap jam, jika FVC kurang dari 18 ml/kg atau terjadi disotonomia
kardiovaskuler, penderita harus dirawat di unit perawatan intensif (ICU).
Intubasi dilakukan bila FVC kurang dari 12-15 ml/kg, tekanan O2 arteri dibawah
70 mmHg serta tanda kelemahan respirasi yang berat. Trakeostomi dilakukan bila
diperkirakan bantuan nafas lebih dari 10 hari. Keputusan untuk menghentikan
alat bantu nafas dan melepaskan selang endotrakeal atau trakeostomi didasarkan
pada derajat penyembuhan fungsi respirasi. Proses penyapihan umumnya dimulai
saat kapasitas vital mencapai kurang lebih 10 ml/kg dan dapat dipertahankan
selama beberapa jam.
Terapi fisik dada dan spirometri insentif membantu
mencegah atelektasis pada pasien dengan gangguan batuk dan nafas. Aritmia
jantung dan fluktuasi tekanan darah membutuhkan monitoring EKG dan tekanan
darah, sehingga deteksi keadaan yang mengancam jiwa dapat tercapai. Injeksi
heparin subkutan 5000 unit, 2 kali sehari diindikasikan untuk mengurangi resiko
trombosis vena dan emboli paru.2
Di ICU, diperkirakan satu dari empat pasien GBS menderita
infeksi paru-paru dan saluran kemih, sehingga dibutuhkan terapi antibiotika
yang sesuai. Antibiotika profilaksis tidak dianjurkan pada penderita ini.
Perawatan jalan nafas, sistem drainase urin tertutup, dan pencucian tangan
secara rutin oleh pekerja medis untuk mencegah infeksi nosokomial. Dilakukan
perawatan harian rutin dengan mobilisasi miring kanan/kiri, memposisikan
anggota gerak dalam posisi anti dekubitus; serta perhatian lebih, terutama
untuk kulit, mata, mulut, usus besar dan kandung kemih, serta nutrisi.
Pada kasus kelumpuhan bifasial, diberikan air mata buatan
dan taping kelopak mata untuk mencegah iritasi kornea. Pada fase paralitik,
dilakukan latihan lingkup gerak sendi secara pasif dua kali sehari untuk
meningkatkan fleksibilitas anggota gerak. Penggunaan padded splint ditujukan
sebagai pencegahan kontraktur dorsifleksi pergelangan kaki. Dukungan psikologis
dan jaminan adanya potensi kesembuhan sangatlah dibutuhkan. Pada fase
penyembuhan, terapi fisik akan mempercepat penyembuhan, antara lain
berupa latihan lingkup gerak sendi serta latihan dengan tahanan ringan.
Terapi Spesifik
Terapi akut ditujukan terutama untuk melawan proses
imunopatogenesis, antara lain terapi pertukaran plasma (plasmapheresis) dan
injeksi immunoglobulin dosis tinggi intravena (IVIG). Plasmapheresis dianjurkan
untuk pasien dengan kelemahan sedang hingga berat (didefinisikan sebagai
kemampuan berjalan dengan bantuan atau tidak mampu berjalan sama sekali).9
Jadwal plasmapheresis berkisar antara 4 hingga 6 kali
(40-50 ml/kg) dengan mesin kontinu selang sehari. Digunakan larutan saline dan
albumin sebagai cairan pengganti plasma. Manfaat terapi paling jelas apabila
terapi dimulai 2 minggu setelah onset. Relaps terjadi pada 10% pasien dalam
kurun waktu 3 minggu pasca-terapi.9
Perbandingan manfaat terapi IVIG sebanyak 0,4
g/kg sebanyak 5 kali per hari pada 2 minggu pertama onset dengan terapi
plasmapheresis, namun hasilnya belum tervalidasi dengan jelas. IVIG mungkin
dipertimbangkan pada pasien dengan masalah akses vena, sepsis, instabilitas
kardiovaskuler, ataupun penderita yang gagal setelah diterapi dengan
plasmapheresis. Pada suatu studi
dari Belanda, terapi IVIg dan PE diberikan pada pasien GBS dalam 2 minggu onset
dan terlihat bahwa pasien yang mendapat IVIg menunjukkan hasil yang lebih baik
hampir pada seluruh aspek yang dinilai. Waktu untuk pulih dan berjalan adalah
kurang dari 14 hari pada pasien yang diterapi dengan IVIg, dan waktu penggunaan
ventilator pada pasien dengan gagal nafas adalah kurang dari 7 hari. IVIg juga
terlihat mengurangi keparahan penyakit. Hal ini mungkin dikarenakan terapi yang
telah dimulai sejak awal (lebih kurang 6 hari setelah onset gejala). IVIg juga
ditoleransi lebih baik dibanding PE.Komplikasi pada PE dijumpai dua kali lebih
sering dibanding IVIg dan cenderung lebih serius. Keuntungan IVIg lainnya
adalah bahwa IVIg lebih mudah diberikan, tidak memerlukan peralatan khusus, dan
membutuhkan periode terapi yang lebih singkat. IVIg tidak sepenuhnya bebas
risiko dan tetap harus digunakan dengan hati-hati.9
Penggunaan kortikosteroid telah disarankan untuk terapi
GBS, namun setelah dilakukan dua uji klinis acak terkontrol yakni menggunakan
dosis konvensional prednisolon dan dosis tinggi metilprednisolon intravena,
terbukti bahwa penggunaan kortikosteroid ternyata tidak bermanfaat. Rekomendasi
terapi berdasarkan studi acak terkontrol; dimana diberikan terapi
plasmapheresis dan IVIG, namun tidak dengan kortikosteroid ataupun kombinasinya.7
2.10 Prognosis
Prognosis GBS ditentukan oleh beberapa faktor. Secara
umum dua per tiga penderita GBS akan pulih komplit kembali dalam waktu satu
tahun. Bantuan ventilator diperlukan oleh seperempat penderita. Dalam suatu
studi perspektif, 36% penderita akan mulai pulih dalam waktu satu minggu, dan
85% akan menunjukkan kemajuan dalam waktu empat minggu. Angka mortalitas akibat
GBS bervariasi berkisar 8-13% dengan frekuensi lebih tinggi pada usia yang
lebih tua. Sekitar 25% kematian terjadi pada minggu pertama, dan 50% kematian
terjadi pada satu bulan. Penyebab utama kematian pada penderita GBS adalah
gagal jantung, diikuti oleh infeksi toraks, emboli paru dan gagal nafas.
Semakin cepat penanganan terhadap GBS, maka semakin baik pula prognosisnya.8
Perjalanan penyakit GBS bisa dibagi menjadi tiga fase:7
·
Fase
Awal : dimulai sejak gejala
definitif GBS mulai muncul, kelumpuhan semakin meningkat seiring berjalan
waktu. Fase awal terjadi sekitar 1-3 minggu ketika tidak ada perburukan gejala
lagi
·
Fase
Plateau : gejala kelumpuhan menetap
yang terjadi beberapa hari hingga beberapa minggu
·
Fase
Pemulihan : Kelumpuhan berangsur-angsur pulih. Fase pemulihan diikuti dengan
proses remielinisasi dan pertumbuhan axon kembali. Fase ini dapat berlangsung
beberap minggu hingga enam bulan. Dalam kasus berat, fase pemulihan dapat
terjadi sekitar dua tahun.
? = N : < font-size:12.0pt;line-height:150%;font-family:"Times New Roman","serif";
mso-ansi-language:IN'> Diagnosis
GBS berdasarkan manifestasi klinis yang tipikal terjadi. Pemeriksaan
elektrofisiologis dan cairan serebrospinal dapat membantu menegakkan diagnosis
pasti GBS.1
Manifestasi
utama GBS adalah kelemahan motorik yang bervariasi, dimulai dari ataksia,
arefleksia hingga total paralisis motorik. Awalnya pasien biasanya menyadari
adanya kelemahan pada kedua tungkainya yaitu adanya kaki karet yakni kaki
cenderung tertekuk (Buckle) dengan
atau tanpa disestesia. Umumnya keterlibatan otot lebih distal terlebih dahulu
dan lama-kelamaan semakin menaik seiring perjalanan penyakit (ascending paralysis). Gejala tersebut
umumnya terjadi secara simteris kiri dan kanan. Saat onset kelemahan terjadi
tidak dijumpai adanya demam.1 Kelemahan maksimal tercapai dalam 4
minggu, namun sebagian besar pasien telah mencapai kelemahan maksimum dalam 2
hingga 3 minggu. Pasien kemudian mengalami fase plateau yang bervariasi dengan rentang beberapa minggu hingga
bulan. Fase ini kemudian diikuti dengan fase pemulihan dengan durasi yang
bervariasi namun cenderung lambat.4
Gangguan
sensorik merupakan gejala yang cukup penting dan bervariasi pada GBS. Hilangnya
sensibilitas dalam atau proprioseptif (raba-tekan-getar) lebih berat daripada
sensibilitas superfisial (raba nyeri dan suhu). Sensasi nyeri merupakan
gejala yang sering muncul pada GBS, yakni rasa nyeri tusuk dalam (deep
aching pain) pada otot-otot yang lemah, namun nyeri ini terbatas dan harus
segera diatasi dengan analgesik standar. Hilangnya sensasi nyeri dan suhu
umumnya ringan. Pada kasus berat, didapati hilangnya fungsi otonom, dengan
manifestasi fluktuasi tekanan darah, hipotensi ortostatik, dan aritmia jantung.6
Untuk diagnosis
GBS dipergunakan kriteria Asbury (1981) yaitu:5
·
Adanya
suatu kelumpuhan (paralisis) yang progresif, simetris dan asenden
·
Arefleksi
dan gangguan sensoris yang ringan tanpa adanya gangguan otot sfingter
·
Penyakit
tidak melebihi 4 minggu atau dalam 2-4 minggu mulai terjadi proses pemulihan
·
Kelainan
cairan serebrospinal : protein meningkat dengan jumlah sel yang normal
(Disosiasi sitoalbumin)
re'> C p n 0? ont:7.0pt "Times New Roman"'>
Aktivasi
komplemen
Pada studi
post-mortem ditemukan bahwa aktivasi komplemen lokal terjadi pada lokasi
kerusakan saraf, seperti aksolemma pada pasien dengan AMAN dan membran sel
Schwann pada AIDP. Studi GBS pada mencit menemukanbahwa beberapa antibodi
antigangliosida bersifat toksik terhadap saraf tepi dan dapat menyebabkan
blokade dari transmisi saraf dan paralisis otot. Selain itu, saraf terminal dan
sel Schwann perisinaptik juga hancur. Antibodi terhadap GM1 mempengaruhi kanal
natrium pada nodus ranvier saraf tepi. Seluruh efek ini bergantung pada
aktivasi komplemen dan pembentukan membrane
attack complex.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar