Catatan kecil, semoga
membantu
Tentang
kondisi kontemporer pelajar Bima
Prakata
Sebetulnya perkembangan yang muncul
terkait masalah pelajar atau juga pemuda di bumi manapun itu hampir sama. Di
kota besar sampai dengan kota kecil, bahkan desa—sama-sama punya perubahan yang
hampir linear. Salah satu contoh sederhana mungkin bisa dilihat dari mode
fashion atau juga teknologi yang syarat dengan perubahan yang cepat.
Berangkat dari perubahan yang hampir
linear tadi, perubahan tentang social
impact, demand, economic cyrcle bahkan masalah habit and culture, punya juga pola yang hampir sama. Suatu
keburukan ketika semua ini di pandang dengan dada terbuka, atau di anggap
sebagai suatu yang merupakan benchmark zaman.
Itu bukan patokan, tapi semua itu adalah opsi buat peningkatan kualitas hidup
manusia, terutama pemuda atau pelajar.
Terkait
budaya dan kebiasaan
Kita mungkin
menyangka bahwa pelajar atau pemuda di Bima memiliki kemampuan yang kurang dibanding
dengan orang-orang yang berada di pulau lain di Indonesia. Terutama jawa. Atau
juga kita beranggapan bahwa pemuda atau pelajar Bima dianggap kurang gaul,
kurang tahu mode, fashion, kordes dan sebagainya. Anggapan seperti ini memang
akan terbukti kalau di tinjau dari aspek real
time. Dimana perkembangan zaman atau bahkan ilmu pengetahuan akan masuk
pertama kali pada masyarakat yang lebih dekat dengan kemajuan itu sendiri,
contoh kota-kota besar.
Ketika ditinjau dari segi future time, hal itu semua akan pasti
menyambangi pemuda dan pelajar di Bima, dengan segala bentuk dan rupa. Bahkan
bisa dibilang akan lebih banyak warna akibat pencampuran yang beragam.
Yang menjadi titik tolak kita sekarang
adalah terkait filter terhadap
kemajuan-kemajuan tersebut. Kalau tidak di filter
kemudian akan masuk pada sisi yang paling utama setelah Agama, yaitu
masalah budaya dan kebiasaan. Yang terlihat pada mata saya adalah perubahan
pelajar atau pemuda yang kurang memiliki filter-filter
tersebut. Perubahan yang sudah menjadi kebiasaan yang diunggulkan oleh
orang-orang bima sendiri. Sadar atau tidak, fashion
dan mode sudah jadi kebutuhan
yang paling utama dan tersegerakan oleh kita. Muncul dengan nama pakaian dan
gaya, kemudian terinfiltrasi pada perbuatan pelajar atau pemuda itu sendiri.
Pergaulan yang ke-barat-barat-an, sok-sokan atau juga menjaga ke-eksisan dalam mode dan fashion sudah tidak kenal dengan budaya yang sudah dijaga oleh
orang-orang tua dulu. Budaya yang terkenal, seperti menjaga aurat dan saling
toleransi, sudah terbawa oleh gaya baru.
Anggap
saja berpacaran atau mengendarai motor itu adalah hal yang biasa, itu akibat
kemajuan zaman. Yang tak biasa dan menjadi kebiasaan adalah model dan bentuk
pacaran yang sudah mulai masuk dengan adegan-adegan siur bahkan saling
buka-bukaan. Ini adalah pekerjaan rutin buat orang-orag di barat yang berdiri
dengan liberalnya, dan telah masuk ke lingkungan kebiasaan di Bima. Sedang
untuk mengendarai motor dengan bentuk yang berbeda, tanpa santun dan tanpa
kenal dengan keselamatan orang, adalah kebiasaan baru yang muncul akibat era socking penggunaan kedaraan itu
sendiri.
Perkembangan yang membawa pada
perubahan kebiasaan menjadi sesuatu yang buruk akan merembes pada budaya yang
buruk. Ini akan berjalan linear. Filter-filter
yang diharapkan untuk menjadi
benteng terhadap kemajuan kalah karena filter
itu sendiri dibiarkan tercecer sampai tidak di kenali. Yang tidak pernah
disadari adalah, masyarakat Bima pada umunya yang memiliki kecenderungan budaya
timur, bawaan dari bangsa-bangsa arab, cina, dan sebagainya yang telah terpatri
beratus-ratus tahun, yang selama itupula menjadi benteng filter, baik itu Agama, Budaya, Keluarga, telah luluh lantah. Ambil
saja faktor ke-tiga dari filter tersebut,
yaitu keluarga. Maka akan banyak pertanyaan yang muncul terhadap sangkutpautnya
keadaan kekinian pelajar dan pemuda di Bima bila kita tinjau dari segi new habit and new mode culture.
Saat ini apa banyak diantara kita,
saling mengingatkan pada kakak/adek laki-laki/perempuan kita terhadap
mewabahnya kemajuan zaman ini, di filter dengan
baik dan mengambil hal-hal yang positif? Apa masih ada yang dahulu mengajarkan ngaji-ngaji kecil di rumah-rumah tempat
kita tinggal, baik oleh orang tua atau juga kakak dan adek? Apa ada yang saling
memberikan nasehat dalam satu lingkungan keluarga, selain dari orang tua yang
sudah mulai dilawan dengan kecongkakan kita sendiri? Apa masih tersisa juga
rasa malu, setidak-tidaknya sungkan kita terhadap prilaku yang tidak baik di
lingkungan kita tinggal?
Saya kira jawaban dari semua itu dapat
diprediksi, kalau sekali waktu kita pergi berjalan-jalan di sepanjang teluk
bima dan ke daerah-daerah yang sering terjadi konflik horizontal di Bima. Semua
yang menjadi kebudayaan lalu dan kearifan-kearifan lolak berubah tabu, dan
hampir semua yang menjadi raw model baru
direbut, seakan-akan itulah dunia saat ini, kalau tak ikut, bukanlah dibilang
hidup di abad 21.
Kalau ditinjau pada filter nomor satu dan dua, jelas hal ini
akan menjadi distorsi yang sangat jauh. Buka ironis dan bukan pula pragmatis.
seorang kakak saja bahkan sudah sungkan untuk menasehati adek-adeknya, karena
menganggap ciuman atau pelukan dipinggir pantai adalah hal yang biasa. Inilah
bentul infiltarsi zaman yang hanya terlihat dalam bentuk mode dan fashion. Ini
kepanjangan dari batu lata.
Terkait
ekonomi
Tahun 2011
sampai dengan tahun 2012, Kabupaten Bima merupakan salah satu penyumbang
terbesar kebutuhan beras bagi masyarakat di NTB. Ekonomi naik konstan, dan perputaran rupiah
di Bima (kota ataupun kabupaten) sudah cukup tinggi. Ini klaim dari pemerintah.
Kalau dikaitkan dengan daya beli pemuda dan pelajar di Bima, hal ini akan
terlihat sebagai sesuatu yang real,
kebutuhan akan barang dan hal-hal baru sudah menjadi prioritas, mode adalah benchmark baru bagi pergulatan sosial akhir-akhir ini. Tak punya
merek ini, atau merek itu, akan menjadi celakanya seseorang, berusaha minta
atau mencari rupiah, entah dengan cara yang wajar atau bahkan sekali-kali
menganiaya pikiran orang tua dan keluarga hanya untuk memenuhi kebutuhan mode yang cepat berganti.
Prinsip dari mode sendiri adalah, semakin cepat barang tersebut laris, akan
semakin cepat pula barang-barang baru berdatangan dengan berbagai macam
inovasi. Ini wajar dan memang menjadi hukum suatu perdagangan. Menuntut inovasi
disetiap barang. Bayangkan saja kalau setiap dari kita, atau pelajar dan pemuda
Bima mengikuti mode yang terus bergulir,
akan banyak muncul maling-maling baru yang tumbuh dalam lingkungan sosial kita
yang paling kecil.
Beberapa dari kita yang menganggap
kemajuan zaman adalah sebagian dari kemajuan umat manusia yang harus diimbagi
dengan berbagai aksesoris hanyalah penyakit yang akhir-akhir ini mulai muncul.
Tidak memiliki impact pada orang Bima
yang memiliki duit banyak, tapi dampak yang muncul pada orang-orang yang tidak
memiliki kemampuan ekonomi yang baik, akan sangat menghawatirkan. Bahkan untuk
mengganti aksesoris dan gadget baru,
orang-orang tertentu terkadang melepaskan benda berharga milik keluarga, atau
yang paling sering didapatkan adalah pemuda atau pelajar seakan-akan bosan
hidup dan malu kalau tak punya aksesoris terbaru yang diinginkan.
Secara kasat mata, sebagai orang Bima,
kita bisa melihat bahwa orang-orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang lebih
matang, adalah orang-orang yang memiliki jiwa bisnis. Tak perlu dia orang asli
Bima atau orang-orang yang turun entah dari mana. Tak butuh juga orang yang
terlalu pandai untuk menjadi orang-orang kaya di Bima. Ini adalah masalah
kemauan. Banyak yang menganggap bahwa orang-orang keturunan cina di bima, atau
arab, yang memiliki bisnis jasa dan dagang yang cukup besar, memiliki duit dan
harta yang banyak sebelum bisa menjadi seperti saat ini, keliru besar. Karena
yang menjadi jurusnya adalah investasi dan kesabaran. Kita terlalu tergiur
dengan duit-duit jutaan yang seketika bisa kita dapat dalam sebulan, seminggu
bahkan sehari, sederhananya adalah kita masih tak jemu dengan mental instan.
Masalah ekonomi yang hanya berkisar
pada aksesoris baru tanpa ada tinjauan masa depan ini yang membuat dampak besar
terhadap ketidakmajuan pemikiran akan suatu hasil yang lebih besar. Sedang yang
mendapatkan keuntungan adalah pelaku jasa dan perdagangan, sehingga potensi
besar yang ada di depan mata orang-orang Bima yaitu, pertanian, perikanan, dan
peternakan jauh menjadi kurang prioritas dalam perencanaan untuk mendapatkan
rupiah yang lebih. Terkait dengan potensi ini pula, pemuda atau pelajar bima
lebih banyak yang memandangnya sebagai suatu kekolotan, atau bahkan sesuatu
yang tak memiliki nilai jual. Lahirlah yang kita kenal dengan istilah
konsumtif, karakter yang hanya mengkonsumsi barang-barang atau jasa saja, tanpa
berpikir untuk menjadi produktif.
Ekonomi Bima yang hanya tertata pada
tataran jasa, memiliki nilai yang lebih dominan dari pada yang lain. Ini wajar
adanya. Karena pemerintah dan masyarakat sama-sama menaruh perhatian
setengah-setengah pada potensi yang lain. Sedang pola yang dianut oleh sebagian
pemuda atau pelajar kita masih menganut aturan panutan, nrimo, apa adanya, warisan nenek dan kakek zaman penjajahan.
Selanjutnya akan mendeskripsikan pendidikan yang pernah dilahap.
Terkait
Pendidikan dan Karakter
Saya sengaja
memisahkan antara pendidikan dan karakter, karena memang antara ke-duanya
sangat berbeda jauh. Orang yang berpendidikan belum tentu memiliki karakter
yang baik, sedang orang yang berakterpun belum tentu pula pengetahuan yang
memadai. Itu sebabnya sering didengungkan lewat jargon terkait pendidikan
karakter—ternyata karakter itupun perlu dipelajari.
Kedua hal ini memainkan peran penting
dalam kemajuan-kemajuan yang saat ini kita lihat. Barang dan aksesoris mewah
adalah buat antara karakter ditambah dengan pendidikan atau pengetahuan itu
sendiri. Cirri konsumtif yang mulai terlihat pada masyarakat ata pemuda dan
pelajar di Bima adalah buah dari ke-dua hal tersebut. Pendidikan yang awalnya
memiliki pengertian yang luas, saat ini sudah jatuh dalam konteks yang lebih
spesifik dan picik, sekedar lulus pelajaran ini, lulus mata kuliah ini dan
kemudian meraih ijazah. Sedangkan karakter yang harusnya tumbuh melalui
pemahaman terhadap lingkungan, pemahaman terhadap keluarga, dan sebagainya
sudah meluncur salah arah. Meluncur ke-arah negative. Buahnya adalah
ketidakpekaan bahkan ketidakpedulian terhadap nilai-nilai kebaikan yang menjadi
dasar-dasar hidup.
Kalau secara nasional dan melembaga,
kita dielu-elukan dengan kurangnya pendidikan karakter di Indonesia, begitu
juga di Bima, itu adalah hal yang wajar—karena kita dengan sadar telah melihat
bahwa pemuda dan pelajar kita lebih banyak menempatkan diri pada golongan yang
selalu “makan”. Ini adalah indikasi lahirnya konglomerat yang tertuju pada
beberapa orang saja.
Pendidikan akhir-akhir ini yang hanya
dimaknai dengan sesuatu hasil, tanpa proses yang baik, akan berimbas pada
asingnya wajah karakter itu sendiri. Sebab instrument utama yang seharusnya
digunakan untuk memasukkan nilai tersebut sudah terguncang. Bukan hanya terkait
pendidikan formal yang ada di sekolah-sekolah, bahkan indikasi dengan munculnya
ultimatum halus yang tanpa sadar telah membumi di Bima yaitu “menjadi PNS”, adalah
salah satu yang menghambat pengembangan karakter pada tataran pelajar terutama
mahasiswa. Sedang yang menunggu untuk menjadi PNS di Bima sangat besar
jumlahnya. Bayangkan saja pada akhir tahun 2013 ini, berbagai badan dan
kantor-kantor membuka peluang untuk menjadi PNS, tetapi Bima tidak mendapat
jatah itu. Karena menurut laporan yang sempat terdengar, bahwa belanja daerah
Bima dengan porsi terbesar jatuh pada
tangan-tangan PNS tersebut.
Tidak heran, kedua faktor inilah yang
menjadi awal mula perubahan kebiasaan bahkan budaya yang terjadi di tempat
kita, Bima. Hal yang seharusnya menjadi titik berat pembangunan, hanya dinilai
dengan angka dan statistik kelulusan semata. Bukan tidak memungkiri bahwa saya,
atau beberapa teman saya juga pernah merasakan hal yang sama, tapi jujur saya
katakana bahwa, tantangan pemuda dan pelajar akhir-akhir ini lebih besar dan
sulit disbanding dengan pada saat saya masih menempuh pendidikan di Bima.
Karakter dan pendidikan itu sendiri
adalah cabang dari kemampuan sosial keluarga dalam mendidik secara
berkelanjutan. Inilah awal yang menentukan sanak family berkembang dalam
lingkungan yang lebih besar. Tak ada kata yang lebih dituruti selain orang tua
yang melahirkan, seharusnya. Seperti saat ini tidak seperti itu, bahkan dengan
kebosanan bahkan tidak jarang dengan keengganan, orang-orang tua sudah jarang
mendidik hal-hal dasar seperti karakter tersebut.
Dari sisi pemerintah yang merupakan
wakil dari Negara atau masyarakat, hal ini hanya jadi jargon politik sementara
sebelum pesta demokrasi berakhir. Setelah itu hilangpula jargon tersebut. Yang
memegang kuasa atas system pendidikan formal adalah pemerintah, yang membuat
peraturan dan undang-undang adalah pemerintah—tapi tak akan berjalanpun kalau
masyarakat dan pemuda tak bergerak untuk segera menghilangkan ke-sok bodohanya
tentang masalah ini. Sesungguhnya kita semua sudah tau dan sadar akan hal
tersebut. Bukan cuman orang tua, pelajar dan pemuda Bima harus mulai merubah
tingkah pola ini.
by : saudaraku M.iftahul J.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar