Daftar Blog Saya

Rabu, 23 Oktober 2013

Tentang kondisi kontemporer pelajar Bima


Catatan kecil, semoga membantu
Tentang kondisi kontemporer pelajar Bima

Prakata
          Sebetulnya perkembangan yang muncul terkait masalah pelajar atau juga pemuda di bumi manapun itu hampir sama. Di kota besar sampai dengan kota kecil, bahkan desa—sama-sama punya perubahan yang hampir linear. Salah satu contoh sederhana mungkin bisa dilihat dari mode fashion atau juga teknologi yang syarat dengan perubahan yang cepat.
          Berangkat dari perubahan yang hampir linear tadi, perubahan tentang social impact, demand, economic cyrcle bahkan masalah habit and culture, punya juga pola yang hampir sama. Suatu keburukan ketika semua ini di pandang dengan dada terbuka, atau di anggap sebagai suatu yang merupakan benchmark zaman. Itu bukan patokan, tapi semua itu adalah opsi buat peningkatan kualitas hidup manusia, terutama pemuda atau pelajar.

Terkait budaya dan kebiasaan
          Kita mungkin menyangka bahwa pelajar atau pemuda di Bima memiliki kemampuan yang kurang dibanding dengan orang-orang yang berada di pulau lain di Indonesia. Terutama jawa. Atau juga kita beranggapan bahwa pemuda atau pelajar Bima dianggap kurang gaul, kurang tahu mode, fashion, kordes dan sebagainya. Anggapan seperti ini memang akan terbukti kalau di tinjau dari aspek real time. Dimana perkembangan zaman atau bahkan ilmu pengetahuan akan masuk pertama kali pada masyarakat yang lebih dekat dengan kemajuan itu sendiri, contoh kota-kota besar.
          Ketika ditinjau dari segi future time, hal itu semua akan pasti menyambangi pemuda dan pelajar di Bima, dengan segala bentuk dan rupa. Bahkan bisa dibilang akan lebih banyak warna akibat pencampuran yang beragam.
          Yang menjadi titik tolak kita sekarang adalah terkait filter terhadap kemajuan-kemajuan tersebut. Kalau tidak di filter kemudian akan masuk pada sisi yang paling utama setelah Agama, yaitu masalah budaya dan kebiasaan. Yang terlihat pada mata saya adalah perubahan pelajar atau pemuda yang kurang memiliki filter-filter tersebut. Perubahan yang sudah menjadi kebiasaan yang diunggulkan oleh orang-orang bima sendiri. Sadar atau tidak, fashion dan mode sudah jadi kebutuhan yang paling utama dan tersegerakan oleh kita. Muncul dengan nama pakaian dan gaya, kemudian terinfiltrasi pada perbuatan pelajar atau pemuda itu sendiri. Pergaulan yang ke-barat-barat-an, sok-sokan atau juga menjaga ke-eksisan dalam mode dan fashion sudah tidak kenal dengan budaya yang sudah dijaga oleh orang-orang tua dulu. Budaya yang terkenal, seperti menjaga aurat dan saling toleransi, sudah terbawa oleh gaya baru.
            Anggap saja berpacaran atau mengendarai motor itu adalah hal yang biasa, itu akibat kemajuan zaman. Yang tak biasa dan menjadi kebiasaan adalah model dan bentuk pacaran yang sudah mulai masuk dengan adegan-adegan siur bahkan saling buka-bukaan. Ini adalah pekerjaan rutin buat orang-orag di barat yang berdiri dengan liberalnya, dan telah masuk ke lingkungan kebiasaan di Bima. Sedang untuk mengendarai motor dengan bentuk yang berbeda, tanpa santun dan tanpa kenal dengan keselamatan orang, adalah kebiasaan baru yang muncul akibat era socking penggunaan kedaraan itu sendiri.
          Perkembangan yang membawa pada perubahan kebiasaan menjadi sesuatu yang buruk akan merembes pada budaya yang buruk. Ini akan berjalan linear. Filter-filter  yang diharapkan untuk menjadi benteng terhadap kemajuan kalah karena filter itu sendiri dibiarkan tercecer sampai tidak di kenali. Yang tidak pernah disadari adalah, masyarakat Bima pada umunya yang memiliki kecenderungan budaya timur, bawaan dari bangsa-bangsa arab, cina, dan sebagainya yang telah terpatri beratus-ratus tahun, yang selama itupula menjadi benteng filter, baik itu Agama, Budaya, Keluarga, telah luluh lantah. Ambil saja faktor ke-tiga dari filter tersebut, yaitu keluarga. Maka akan banyak pertanyaan yang muncul terhadap sangkutpautnya keadaan kekinian pelajar dan pemuda di Bima bila kita tinjau dari segi new habit and new mode culture.
          Saat ini apa banyak diantara kita, saling mengingatkan pada kakak/adek laki-laki/perempuan kita terhadap mewabahnya kemajuan zaman ini, di filter dengan baik dan mengambil hal-hal yang positif? Apa masih ada yang dahulu mengajarkan ngaji-ngaji kecil di rumah-rumah tempat kita tinggal, baik oleh orang tua atau juga kakak dan adek? Apa ada yang saling memberikan nasehat dalam satu lingkungan keluarga, selain dari orang tua yang sudah mulai dilawan dengan kecongkakan kita sendiri? Apa masih tersisa juga rasa malu, setidak-tidaknya sungkan kita terhadap prilaku yang tidak baik di lingkungan kita tinggal?
          Saya kira jawaban dari semua itu dapat diprediksi, kalau sekali waktu kita pergi berjalan-jalan di sepanjang teluk bima dan ke daerah-daerah yang sering terjadi konflik horizontal di Bima. Semua yang menjadi kebudayaan lalu dan kearifan-kearifan lolak berubah tabu, dan hampir semua yang menjadi raw model baru direbut, seakan-akan itulah dunia saat ini, kalau tak ikut, bukanlah dibilang hidup di abad 21.
          Kalau ditinjau pada filter nomor satu dan dua, jelas hal ini akan menjadi distorsi yang sangat jauh. Buka ironis dan bukan pula pragmatis. seorang kakak saja bahkan sudah sungkan untuk menasehati adek-adeknya, karena menganggap ciuman atau pelukan dipinggir pantai adalah hal yang biasa. Inilah bentul infiltarsi zaman yang hanya terlihat dalam bentuk mode dan fashion. Ini kepanjangan dari batu lata.
Terkait ekonomi
          Tahun 2011 sampai dengan tahun 2012, Kabupaten Bima merupakan salah satu penyumbang terbesar kebutuhan beras bagi masyarakat di NTB.  Ekonomi naik konstan, dan perputaran rupiah di Bima (kota ataupun kabupaten) sudah cukup tinggi. Ini klaim dari pemerintah. Kalau dikaitkan dengan daya beli pemuda dan pelajar di Bima, hal ini akan terlihat sebagai sesuatu yang real, kebutuhan akan barang dan hal-hal baru sudah menjadi prioritas, mode adalah benchmark baru bagi pergulatan sosial akhir-akhir ini. Tak punya merek ini, atau merek itu, akan menjadi celakanya seseorang, berusaha minta atau mencari rupiah, entah dengan cara yang wajar atau bahkan sekali-kali menganiaya pikiran orang tua dan keluarga hanya untuk memenuhi kebutuhan mode yang cepat berganti.
          Prinsip dari mode sendiri adalah, semakin cepat barang tersebut laris, akan semakin cepat pula barang-barang baru berdatangan dengan berbagai macam inovasi. Ini wajar dan memang menjadi hukum suatu perdagangan. Menuntut inovasi disetiap barang. Bayangkan saja kalau setiap dari kita, atau pelajar dan pemuda Bima mengikuti mode yang terus bergulir, akan banyak muncul maling-maling baru yang tumbuh dalam lingkungan sosial kita yang paling kecil.
          Beberapa dari kita yang menganggap kemajuan zaman adalah sebagian dari kemajuan umat manusia yang harus diimbagi dengan berbagai aksesoris hanyalah penyakit yang akhir-akhir ini mulai muncul. Tidak memiliki impact pada orang Bima yang memiliki duit banyak, tapi dampak yang muncul pada orang-orang yang tidak memiliki kemampuan ekonomi yang baik, akan sangat menghawatirkan. Bahkan untuk mengganti aksesoris dan gadget baru, orang-orang tertentu terkadang melepaskan benda berharga milik keluarga, atau yang paling sering didapatkan adalah pemuda atau pelajar seakan-akan bosan hidup dan malu kalau tak punya aksesoris terbaru yang diinginkan.
          Secara kasat mata, sebagai orang Bima, kita bisa melihat bahwa orang-orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang lebih matang, adalah orang-orang yang memiliki jiwa bisnis. Tak perlu dia orang asli Bima atau orang-orang yang turun entah dari mana. Tak butuh juga orang yang terlalu pandai untuk menjadi orang-orang kaya di Bima. Ini adalah masalah kemauan. Banyak yang menganggap bahwa orang-orang keturunan cina di bima, atau arab, yang memiliki bisnis jasa dan dagang yang cukup besar, memiliki duit dan harta yang banyak sebelum bisa menjadi seperti saat ini, keliru besar. Karena yang menjadi jurusnya adalah investasi dan kesabaran. Kita terlalu tergiur dengan duit-duit jutaan yang seketika bisa kita dapat dalam sebulan, seminggu bahkan sehari, sederhananya adalah kita masih tak jemu dengan mental instan.
          Masalah ekonomi yang hanya berkisar pada aksesoris baru tanpa ada tinjauan masa depan ini yang membuat dampak besar terhadap ketidakmajuan pemikiran akan suatu hasil yang lebih besar. Sedang yang mendapatkan keuntungan adalah pelaku jasa dan perdagangan, sehingga potensi besar yang ada di depan mata orang-orang Bima yaitu, pertanian, perikanan, dan peternakan jauh menjadi kurang prioritas dalam perencanaan untuk mendapatkan rupiah yang lebih. Terkait dengan potensi ini pula, pemuda atau pelajar bima lebih banyak yang memandangnya sebagai suatu kekolotan, atau bahkan sesuatu yang tak memiliki nilai jual. Lahirlah yang kita kenal dengan istilah konsumtif, karakter yang hanya mengkonsumsi barang-barang atau jasa saja, tanpa berpikir untuk menjadi produktif.
          Ekonomi Bima yang hanya tertata pada tataran jasa, memiliki nilai yang lebih dominan dari pada yang lain. Ini wajar adanya. Karena pemerintah dan masyarakat sama-sama menaruh perhatian setengah-setengah pada potensi yang lain. Sedang pola yang dianut oleh sebagian pemuda atau pelajar kita masih menganut aturan panutan, nrimo, apa adanya, warisan nenek dan kakek zaman penjajahan. Selanjutnya akan mendeskripsikan pendidikan yang pernah dilahap.

Terkait Pendidikan dan Karakter
          Saya sengaja memisahkan antara pendidikan dan karakter, karena memang antara ke-duanya sangat berbeda jauh. Orang yang berpendidikan belum tentu memiliki karakter yang baik, sedang orang yang berakterpun belum tentu pula pengetahuan yang memadai. Itu sebabnya sering didengungkan lewat jargon terkait pendidikan karakter—ternyata karakter itupun perlu dipelajari.
          Kedua hal ini memainkan peran penting dalam kemajuan-kemajuan yang saat ini kita lihat. Barang dan aksesoris mewah adalah buat antara karakter ditambah dengan pendidikan atau pengetahuan itu sendiri. Cirri konsumtif yang mulai terlihat pada masyarakat ata pemuda dan pelajar di Bima adalah buah dari ke-dua hal tersebut. Pendidikan yang awalnya memiliki pengertian yang luas, saat ini sudah jatuh dalam konteks yang lebih spesifik dan picik, sekedar lulus pelajaran ini, lulus mata kuliah ini dan kemudian meraih ijazah. Sedangkan karakter yang harusnya tumbuh melalui pemahaman terhadap lingkungan, pemahaman terhadap keluarga, dan sebagainya sudah meluncur salah arah. Meluncur ke-arah negative. Buahnya adalah ketidakpekaan bahkan ketidakpedulian terhadap nilai-nilai kebaikan yang menjadi dasar-dasar hidup.
          Kalau secara nasional dan melembaga, kita dielu-elukan dengan kurangnya pendidikan karakter di Indonesia, begitu juga di Bima, itu adalah hal yang wajar—karena kita dengan sadar telah melihat bahwa pemuda dan pelajar kita lebih banyak menempatkan diri pada golongan yang selalu “makan”. Ini adalah indikasi lahirnya konglomerat yang tertuju pada beberapa orang saja.
          Pendidikan akhir-akhir ini yang hanya dimaknai dengan sesuatu hasil, tanpa proses yang baik, akan berimbas pada asingnya wajah karakter itu sendiri. Sebab instrument utama yang seharusnya digunakan untuk memasukkan nilai tersebut sudah terguncang. Bukan hanya terkait pendidikan formal yang ada di sekolah-sekolah, bahkan indikasi dengan munculnya ultimatum halus yang tanpa sadar telah membumi di Bima yaitu “menjadi PNS”, adalah salah satu yang menghambat pengembangan karakter pada tataran pelajar terutama mahasiswa. Sedang yang menunggu untuk menjadi PNS di Bima sangat besar jumlahnya. Bayangkan saja pada akhir tahun 2013 ini, berbagai badan dan kantor-kantor membuka peluang untuk menjadi PNS, tetapi Bima tidak mendapat jatah itu. Karena menurut laporan yang sempat terdengar, bahwa belanja daerah Bima dengan porsi terbesar  jatuh pada tangan-tangan PNS tersebut.
          Tidak heran, kedua faktor inilah yang menjadi awal mula perubahan kebiasaan bahkan budaya yang terjadi di tempat kita, Bima. Hal yang seharusnya menjadi titik berat pembangunan, hanya dinilai dengan angka dan statistik kelulusan semata. Bukan tidak memungkiri bahwa saya, atau beberapa teman saya juga pernah merasakan hal yang sama, tapi jujur saya katakana bahwa, tantangan pemuda dan pelajar akhir-akhir ini lebih besar dan sulit disbanding dengan pada saat saya masih menempuh pendidikan di Bima.
          Karakter dan pendidikan itu sendiri adalah cabang dari kemampuan sosial keluarga dalam mendidik secara berkelanjutan. Inilah awal yang menentukan sanak family berkembang dalam lingkungan yang lebih besar. Tak ada kata yang lebih dituruti selain orang tua yang melahirkan, seharusnya. Seperti saat ini tidak seperti itu, bahkan dengan kebosanan bahkan tidak jarang dengan keengganan, orang-orang tua sudah jarang mendidik hal-hal dasar seperti karakter tersebut.
          Dari sisi pemerintah yang merupakan wakil dari Negara atau masyarakat, hal ini hanya jadi jargon politik sementara sebelum pesta demokrasi berakhir. Setelah itu hilangpula jargon tersebut. Yang memegang kuasa atas system pendidikan formal adalah pemerintah, yang membuat peraturan dan undang-undang adalah pemerintah—tapi tak akan berjalanpun kalau masyarakat dan pemuda tak bergerak untuk segera menghilangkan ke-sok bodohanya tentang masalah ini. Sesungguhnya kita semua sudah tau dan sadar akan hal tersebut. Bukan cuman orang tua, pelajar dan pemuda Bima harus mulai merubah tingkah pola ini. 

by : saudaraku M.iftahul J.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar